Minggu, 29 Juni 2014

Jurnal Parapsikologi edisi khusus Bulan Puasa (Will Never be Scientific) | Yogyakarta, 29 Juni 2014

 Jurnal Parapsikologi edisi khusus Bulan Puasa (Will Never be Scientific) | Yogyakarta, 29 Juni 2014
 
***

"BELAJAR KASIH SAYANG DARI MAHLUK ASTRAL"

Om Swastiastu, Om Awighnam Astu, Om Hrang Hring Sah Parama Siwa Raditya Ya Namah Swaha.
Atas nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Hari ini Sabtu, 29 Juni2014, saya mendapatkan sebuah insight dan pemahaman yang cukup mendamaikan hati tentang apa yang saya jumpai dan pertanyakan sekaligus renungkan beberapa bulan ini. Ini adalah seputar kekeliruan yang perlu diluruskan. Ini seputar prasangka dan label keliru terhadap sesama mahluk Tuhan. Dengan segala kerendahan dan kedamaian hati, saya ingin menyampaikan ini kepada rekan-rekan, semoga setiap mahluk Tuhan senantiasa dibukakan hatinya dalam setiap tindakan, perkataan dan pikiran.

Beberapa bulan ini, saya sering ‘disapa’ dan ‘dihampiri’ oleh sosok-sosok perempuan berbaju putih, berambut panjang, dengan rupa yang khas. Saya menjumpai mereka di beberapa pohon besar, dan lokasi-lokasi sempit yang umumnya kurang mendapat cahaya. Masyarakat Indonesia umumnya menyebut mereka dengan sebutan (yang sebenarnya keliru!) “KU****ANAK”. Saya kemudian bisa memaklumi mengapa sebutan ini dilabelkan kepada mereka karena mereka (dengan segala kerendahan hati) menyukai bayi (eitsss, jangan salah sangka, jangan takut, jangan kawatir, tetap rileks!). Mereka menyukai bayi karena merindukan sosok putra/putri. Mereka meninggal sebelum mereka diberi kesempatan untuk memiliki anak, atau meninggal bersama anak mereka. Akan tetapi, kebiasaan beliau (yang juga tidak semua demikian) menyukai bayi (bukan mencuri atau mengutil bayi!) agaknya memunculkan stigma negatif sebagai penguntil atau pencuri anak. Ini sangatlah membuat mereka bersedih. Mereka sakit hati dengan sebutan itu. Itu bukanlah sebutan yang tepat untuk mereka.

Mereka bukanlah penguntil atau pencuri anak, mereka hanya pecinta anak-anak. Jika ada bayi yang suka bercanda sendiri, atau tertawa sendiri ketika ia sendirian, seperti itulah mereka bercanda dengan (mungkin) salah satu dari mereka. Tapi tenanglah, wajah yang ditampilkan tidak lah demikian menyeramkan, justru cantik dan keibuan sehingga beberapa bayi tidak merasa ketakutan. So, keep calm and stay open your mind.

Saya kemudian bertanya-tanya, apa sebutan yang tepat untuk mereka. Sempat iseng-iseng saya coba berkomunikasi dengan salah satu dari mereka, dan beliau mengatakan namanya(mohon maaf dan dengan segala kerendahan hati, saya tidak mengetahui, Tuhan yang Maha mengetahui) yaitu “Desi”. Dan ketika saya bertanya-tanya siapa nama sebutan umum beliau, beberapa mengatakan panggil saja “Bibi” kalau kebetulan berjumpa dengan mereka (jangan pernah panggil tante!). Itulah sebutan yang mendamaikan hati mereka.

***
Setiap orang yang membaca ini saya yakin tidak akan langsung mempercayai tulisan ini. Namun demikian, bagi hati saya pribadi tidak ada paksaan untuk percaya dan tidak ada juga paksaan untuk tidak percaya (hehe J). Anggap saja ini tulisan fiksi saya yang masih jauh dari kata sempurna. Dan sampai pada KALIMAT INI, anda bebas memutuskan untuk lanjut atau berhenti membaca. Apapun yang rekan2 lakukan, pintu hati saya akan selalu terbuka (mengutip kata-kata favorit Ajahn Brahm). Hehe..

***

Oke lanjutkan, kemunculan mereka umumnya diakibatkan oleh kematian yang belum sempurna atau (kalau di Bali) belum disucikan sebelum dikubur atau dibakar. Mereka dulunya manusia juga sama seperti kita. Hal ini sudah saya buktikan sendiri. Salah satu dari mereka yang ada di pekarangan rumah saya bernama “Bibi Dimbi” dulunya adalah manusia. Pada awal perjumpaan wajah beliau memang seram, persis seperti yang digambarkan di film-film hantu Indonesia. Untung waktu itu saya sedang ‘bersih’ karena habis mandi di pantai, so (kebetulan) tegar-tegar saja. Namun ketika saya katakan dalam hati kepada beliau, “Hai Bibi Dimbi, aku mengasihimu, sebagaimana Tuhan mengasihimu, maafkan saya, keluarga, sanak saudara, atau masyarakat saya jika pernah menyakiti hatimu, saya menyesal dengan hal itu. Terimakasih sudah mengajarkan saya sesuatu, semoga ini membersihkan kita dari kenangan masa lalu, dan diganti dengan segala cinta kasih Tuhan”.

Singkat cerita, apa yang terjadi, lambat laun wajahnya semakin rupawati. Beliau kemudian jongkok dan menangis. Beliau menangis, sayapun ikut menangis penuh haru (huhuhu...T.T). Saya bisa merasakan apa yang beliau rasakan dan pikirkan. Selama ini beliau bersedih, dan tidak pernah merasakan sebuah “KASIH SAYANG” dari manusia. Baru pertama kali beliau merasa dikasihi (bukan dikasihani). Beliau selama ini merasa dibenci, dimusuhi, dicurigai, diprasangka, ditakuti dan diusir sehingga harus berpindah dari satu tempat ketempat lainnya. Saya bisa merasakan penderitaan beliau. Dari sana saya tersadar dan belajar bahwa betapa banyak sekali kekeliruan manusia dalam memandang mahluk tidak tampak seperti para Bibi (syediih T.T).

Sejak saat itu, saya mengerti apa artinya kasih sayang bagi mahluk astral seperti mereka. Mereka bisa merasakan benci, bisa merasa bahagia, bisa merasa takut, dan lain-lain.Sama halnya dengan aspek-aspek Psikologis manusia. Mereka berprilaku, merasa,berpikir, sebagaimana manusia. Hanya saja dunia mereka berbeda, tapi ingatlah mereka dulu adalah manusia. Mereka bahagia ketika manusia hidup harmonis dengan sesama manusia. Di rumah yang keluarganya rukun dan damai, mereka bisa merasakan kasih sayang antar manusia. Energi itu terpancar ke hati mereka. Bahkan saking damainya, mereka juga akan mendoakan keluarga tersebut agar senantiasa hidup damai penuh kasih sayang, sehingga mahluk-mahluk tidak tampak lainnya juga merasa bahagia.

Dari pengalaman itu saya juga belajar, bahwa mereka tidak butuh sesaji. Mereka tidak butuh itu,mereka hanya ingin hidup harmonis bersama manusia. Dunia manusia dan mereka hanya dipisahkan oleh energi tipis yang hanya bisa ditembus segelintir orang. Mereka bahagia ketika didoakan dan dikasihi sebagai sesama mahluk ciptaanTuhan. Intinya sama dengan apa yang kita lakukan kepada manusia lainnya. Namun sayangnya, beberapa manusia yang dikuasai ego jadi membenci mereka, mengusir mereka, menghakimi mereka dengan dalih “Manusia lebih tinggi derajatnya”. Ini ucapan yang beberapa kali saya dengar dari salah satu acara misteri di televisi yang berusaha menaklukkan mereka dengan ilmu kebathinan mereka. Melihat itu saya hanya membathin, “Ya Tuhan maafkanlah kami”.

Insight lain juga saya dapatkan dari mereka. Jika anda insan psikologi, anda pasti mengenal istilah ego-defence mechanism atau mekanisme pertahanan ego. Inti dari mekanisme pertahanan ego adalah upaya mahluk hidup dalam mencegah jatuhnya harga diri karena takut direndahkan/dipermalukan, dengan cara -cara seperti mengancam, menggertak, atau menakut-nakuti. Sebelumnya saya pikir hanya manusia yang punya mekanisme itu,ternyata tidak! Mahluk astral seperti bibi juga punya. Mereka menakut-nakuti manusia agar mereka tidak diganggu atau diusir. Namun demikian, mereka HANYA menakut-nakuti hati orang-orang yang kurang bersih, penuh rasa benci, kejam, kasar, dan sedikit kasih sayang (hiii atut..). So, mari sama-sama berbenah diri he he..

Oh iya, para mahluk astral sangatlah peka dengan energi bathin manusia. Mereka segan dengan mereka yang rajin ‘membersihkan diri’ sehingga energinya positif. Mereka yg energinya positif (karena ibadah, sedekah, tirakat, lakuprihatin, dzikir, atau memiliki jiwa penyayang tanpa syarat) akan sangat disegani oleh mereka. Sedikitpun mereka tidak akan ada niat untuk mengganggu, bagaimana mungkin mengganggu orang yang penuh kasih sayang dan dekat dengan Tuhan? Kira-kira demikian. Bahkan beberapa dari mereka akan melindungi anda TANPA PAMRIH (serius!).

Di setiap Agama manapun selalu ada sebutan “Tuhan yan Maha Pengasih dan Penyayang”. Dari pengalaman-pengalaman itulah saya mulai belajar memahami bahwa manusia hendaknya meneladani sifat Tuhan tersebut kepada setiap mahluk, mulai dari yang tampak sampai yg tidak kasat mata. Kita bisa hidup berdampingan dengan mahluk manapun ketika semua didasarkan pada “KASIH SAYANG”. Ketika RUMAH HATI kita, dipenuhi kasih sayang. Kasih sayang menciptakan hubungan harmonis dengan Tuhan (Parahyangan), manusia (pawongan), dan lingkungan (palemahan). Konsep ini di Bali disebut Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan).

Di penghujung tulisan ini, dengan segala permohonan maaf kepada semesta atas segala kesalahan saya sejak awal penciptaan hingga hari ini, dan dengan segala kerendahan hati, tulisan ini hanya media yang ingin menawarkan sebuah ‘kacamata’ baru untuk melihat dunia dari sisi lain. Tulisan ini ndak sempurna, tapi saya harap cukup untuk membuat anda berguman “hmmmm..”. Saya yakin hidup akan lebih indah ketika di lihat dari banyak sisi, sehingga ada banyak juga alternatif perenungan.

Akhir kata, saya berdoa untuk setiap mahluk yang ada di alam semesta, semoga setiap bathin kita diberikan cahaya suci dari Tuhan untuk pelayanan dan pengabdian kepada Tuhanlewat setiap ciptaan-Nya. Semoga setiap manusia mulai sadar untuk saling menyayangi apapun warna kulit, agama, suku, ras, dan golongan mereka.

Saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besar untuk para “Bibi” yang sudah sempat menyapa dan berkomunikasi (khususnya Bibi Dimbi yang sekarang sudah mencapai kesempurnaan dan bisa berjumpa dengan Gusti Ingkang Moho Wikan). Terimakasih atas pelajarannya yg telah membukakan hati saya dan keluarga. Semoga setiap mahluk di dunia dalam keadaan sehat dan bahagia.

Om Shriyam bhawantu, sukham bhawantu, phurnam bhawantu, Om Ksama Sampurna Ya Namah Swaha. Salam damai rahayu.

Selamat Menyambut Bulan Suci yang penuh berkah dan ampunan untuk saudara/i umat Islam yang saya kasihi.

NB: terimakasih yang sudah sempat membaca, “kalian luar biasaaa....:* ”(Ariel Noah)